Politik Babi merupakan kebijakan politik yang diterapkan di Tanah Batak atas prakarsa Van Der Tuuk, seorang pendeta yang menjadi kaki tangan kolonialis Belanda, dengan cara menggalakkan peternakan Babi. Tujuan Dari politik ini adalah untuk mempersulit kehidupan orang-orang yang dalam keyakinannya tidak diperbolehkan menyentuh dan memakan babi. [Lihat: Sumber Lihat: R. Nieuwenhuys, H.N. van Der Tuuk: De, Pen in Gal Gedoopt, (Amsterdam, 1962) hal: 81-84. Nomor 14 yang berbunyi:
"Sebagai peternak harus memelihara babi".
Para peternak babi tersebut dianjurkan untuk selalu melepaskan babinya sehingga dapat memasuki rumah-rumah maupun tempat ibadah. Hasilnya, banyak orang Batak yang mempunyai keyakinan larangan menyentuh dan memakan babi kewalahan dan pindah agama, mereka yang gigih akan memilih untuk mengungsi atau pindah massal ke daerah lain.
Politik ini pada zaman belanda sebelum penjajahan Jepang pernah digalakkan terutama di daearah Barus, Tapanuli Tengah dan daerah-daerah bekas Tapanulis Selatan. Para peternak tersebut sengaja membiarkan babinya di siang hari yang kemudian menimbulkan keresahan sosial. Banyak juga yang menjadi korban karena hewan omnipora ini ternyata kalau lapar sekali atau sedang hamil dan barusan melahirkan dapat juga memangsa manusia khususnya anak-anak. Selain itu, terjadi banyak kasus meninggal akibat epidemi dari penyakit yang ditimbulkan oleh babi dan kotorannya.
Usaha ini membawa hasil, saat banyak orang-orang yang menjadi korban babi tersebut memilih untuk mengungsi ke tempat lain, ada yang menjual tanahnya dengan harga murah bahkan ada yang meninggalkannya begitu saja. Sehingga, sebuah keuntungan berlipat para peternak dengan menduduki dan membeli tanah strategis yang dijual murah tersebut.
Politik Babi ini merupakan bagian dari kebijakan sektarian dan intoleransi yang diterapkan Belanda sejak dahulu kala atas prakarsa Van Der Tuuk. Politik ini banyak membawa keberhasilan dalam menunjang kinerja penjajahan. Begitu banyaknya keuntungan yang didapat dari beternak ini, sehingga banyak orang berkesimpulan untuk mengganti hewan utama persembahan dalam adat Batak, dari yang seharusnya Kerbau menjadi Babi.
16 Feb 07 10:16 WIB
Medan Harus Bebas Ternak Babi
Medan WASPADA Online
Tidak satupun kecamatan di Medan boleh ada ternak babi. Karena kota yang menuju kota metropolitan ini harus bebas dari polusi yang dapat mengganggu kesehatan dan kenyamanan warga. Bukan hanya babi, namun unggas pun perlu ditertibkan karena virus flu burungnya.
Penegasan itu disampaikan Ketua Komisi B DPRD Medan, Jamhur Abdullah, ST kepada Waspada melalui telefon selular, Jumat (16/2), menanggapi keresahan warga Medan Denai karena ternak babi mencemari lingkungan tempat tinggal mereka.
Perda No.11 Tahun 1993 menyatakan memang ada beberapa kecamatan dilarang untuk beternak babi, kecuali di empat kecamatan yang dibolehkan yakni di Kecamatan Amplas, Sunggal, Helvetia dan Kecamatan Marelan. Namun kita akan mempertegas dengan perda baru yang intinya agar seluruh kecamatan di kota ini bebas dari ternak babi.
‘'Ternak unggas saja yang menyebabkan flu burung telah dilarang untuk dipelihara di pemukiman padat penduduk di beberapa daerah, kenapa ternak babi tidak. Padahal ternak babi dapat menimbulkan flu babi yang lebih berbahaya,'' tandasnya.
Jamhur mengatakan Pemko tidak pernah memberi izin ternak babi di kawasan Medan Denai. Jika memang perlu akan dipertegas dengan perda baru agar seluruh kecamatan di Medan bebas ternak babi. Untuk itu Pemko segera bertindak menanggapi keresahan warga dengan memindahkan seluruh ternak babi yang ada di Kota Medan ke luar Medan atau di luar pemukiman padat penduduk.
Camat Denai Tak Peduli
Maraknya limbah ternak babi di Medan Denai yang populasinya hampir 9000 ekor hingga meresahkan warga di Percut Seituan Deli Serdang, dinilai akibat kurang pedulinya Camat setempat dengan predikat bendera hitam di wilayahnya. Penilaian tersebut dikatakan Ketua Forum Peduli Ummat Mandala Bersatu Nirwan Kasim kepada wartawan Jumat (16/2).
'' Hal itu dapat disaksikan langsung oleh siapa saja di kawasan Kelurahan Tegal Sari Mandala I, II dan III khususnya pemukiman peternak babi yang kondisinya sangat kumuh,'' ujar Kasim. Hal itum ujarnya, terjadi akibat tidak berjalannya penataan pemukiman yang bersih guna terciptanya lingkungan sehat di tengah masyarakat di kecamatan tersebut sehingga menimbulkan keresahan warga.
Ironisnya, lanjut Kasim, keresahan tersebut juga terjadi kepada masyarakat di daerah lain yang berada di luar wilayah Pemko Medan yakni di Kelurahan Kenangan dan Kenangan Baru Perumnas Mandala, Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang.
Padahal ketika anugerah bendera hitam diberikan Pemko Medan kepada Kecamatan Medan Denai pada 2006, Camat saat ini sebelumnya menjabat Sekcam di kecamatan itu, katanya.
Namun sejak menjadi Camat hingga kini tidak terlihat adanya kegiatan pro aktif di pemukiman peternak babi dalam menata lingkungan sehat dan bersih sehingga menimbulkan keresahan yang berimplikasi terjadinya demo warga Medan Denai ke Balai Kota. Sebelumnya Sekcam Medan Denai M Yunus Nasution S.Stp mengatakan pihaknya hanya dapat melakukan imbauan dan sosialisasi kepada masyarakat. Penertiban ternak babi urusan Pemko Medan, tegas Yunus.
"Sebagai peternak harus memelihara babi".
Para peternak babi tersebut dianjurkan untuk selalu melepaskan babinya sehingga dapat memasuki rumah-rumah maupun tempat ibadah. Hasilnya, banyak orang Batak yang mempunyai keyakinan larangan menyentuh dan memakan babi kewalahan dan pindah agama, mereka yang gigih akan memilih untuk mengungsi atau pindah massal ke daerah lain.
Politik ini pada zaman belanda sebelum penjajahan Jepang pernah digalakkan terutama di daearah Barus, Tapanuli Tengah dan daerah-daerah bekas Tapanulis Selatan. Para peternak tersebut sengaja membiarkan babinya di siang hari yang kemudian menimbulkan keresahan sosial. Banyak juga yang menjadi korban karena hewan omnipora ini ternyata kalau lapar sekali atau sedang hamil dan barusan melahirkan dapat juga memangsa manusia khususnya anak-anak. Selain itu, terjadi banyak kasus meninggal akibat epidemi dari penyakit yang ditimbulkan oleh babi dan kotorannya.
Usaha ini membawa hasil, saat banyak orang-orang yang menjadi korban babi tersebut memilih untuk mengungsi ke tempat lain, ada yang menjual tanahnya dengan harga murah bahkan ada yang meninggalkannya begitu saja. Sehingga, sebuah keuntungan berlipat para peternak dengan menduduki dan membeli tanah strategis yang dijual murah tersebut.
Politik Babi ini merupakan bagian dari kebijakan sektarian dan intoleransi yang diterapkan Belanda sejak dahulu kala atas prakarsa Van Der Tuuk. Politik ini banyak membawa keberhasilan dalam menunjang kinerja penjajahan. Begitu banyaknya keuntungan yang didapat dari beternak ini, sehingga banyak orang berkesimpulan untuk mengganti hewan utama persembahan dalam adat Batak, dari yang seharusnya Kerbau menjadi Babi.
16 Feb 07 10:16 WIB
Medan Harus Bebas Ternak Babi
Medan WASPADA Online
Tidak satupun kecamatan di Medan boleh ada ternak babi. Karena kota yang menuju kota metropolitan ini harus bebas dari polusi yang dapat mengganggu kesehatan dan kenyamanan warga. Bukan hanya babi, namun unggas pun perlu ditertibkan karena virus flu burungnya.
Penegasan itu disampaikan Ketua Komisi B DPRD Medan, Jamhur Abdullah, ST kepada Waspada melalui telefon selular, Jumat (16/2), menanggapi keresahan warga Medan Denai karena ternak babi mencemari lingkungan tempat tinggal mereka.
Perda No.11 Tahun 1993 menyatakan memang ada beberapa kecamatan dilarang untuk beternak babi, kecuali di empat kecamatan yang dibolehkan yakni di Kecamatan Amplas, Sunggal, Helvetia dan Kecamatan Marelan. Namun kita akan mempertegas dengan perda baru yang intinya agar seluruh kecamatan di kota ini bebas dari ternak babi.
‘'Ternak unggas saja yang menyebabkan flu burung telah dilarang untuk dipelihara di pemukiman padat penduduk di beberapa daerah, kenapa ternak babi tidak. Padahal ternak babi dapat menimbulkan flu babi yang lebih berbahaya,'' tandasnya.
Jamhur mengatakan Pemko tidak pernah memberi izin ternak babi di kawasan Medan Denai. Jika memang perlu akan dipertegas dengan perda baru agar seluruh kecamatan di Medan bebas ternak babi. Untuk itu Pemko segera bertindak menanggapi keresahan warga dengan memindahkan seluruh ternak babi yang ada di Kota Medan ke luar Medan atau di luar pemukiman padat penduduk.
Camat Denai Tak Peduli
Maraknya limbah ternak babi di Medan Denai yang populasinya hampir 9000 ekor hingga meresahkan warga di Percut Seituan Deli Serdang, dinilai akibat kurang pedulinya Camat setempat dengan predikat bendera hitam di wilayahnya. Penilaian tersebut dikatakan Ketua Forum Peduli Ummat Mandala Bersatu Nirwan Kasim kepada wartawan Jumat (16/2).
'' Hal itu dapat disaksikan langsung oleh siapa saja di kawasan Kelurahan Tegal Sari Mandala I, II dan III khususnya pemukiman peternak babi yang kondisinya sangat kumuh,'' ujar Kasim. Hal itum ujarnya, terjadi akibat tidak berjalannya penataan pemukiman yang bersih guna terciptanya lingkungan sehat di tengah masyarakat di kecamatan tersebut sehingga menimbulkan keresahan warga.
Ironisnya, lanjut Kasim, keresahan tersebut juga terjadi kepada masyarakat di daerah lain yang berada di luar wilayah Pemko Medan yakni di Kelurahan Kenangan dan Kenangan Baru Perumnas Mandala, Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang.
Padahal ketika anugerah bendera hitam diberikan Pemko Medan kepada Kecamatan Medan Denai pada 2006, Camat saat ini sebelumnya menjabat Sekcam di kecamatan itu, katanya.
Namun sejak menjadi Camat hingga kini tidak terlihat adanya kegiatan pro aktif di pemukiman peternak babi dalam menata lingkungan sehat dan bersih sehingga menimbulkan keresahan yang berimplikasi terjadinya demo warga Medan Denai ke Balai Kota. Sebelumnya Sekcam Medan Denai M Yunus Nasution S.Stp mengatakan pihaknya hanya dapat melakukan imbauan dan sosialisasi kepada masyarakat. Penertiban ternak babi urusan Pemko Medan, tegas Yunus.