Si Raja Batak mempunyai dua anak yang diketahui silsilahnya sampai sekarang. Pertama Guru Tatea Bulan dan yang kedua adalah Raja Isumbaon. Ada yang mengatakan bahwa ada bungsunya satu lagi bernama Toga Laut yang mengembara ke arah utara menuju Aceh yang tidak pernah kembali di masa mudanya.
Guru Tatea Bulan mempunyai sembilan orang anak, lima laki-laki dan empat perempuan yaitu, Raja Biak-biak, Tuan Sariburaja, Limbong Mulana, Sagalaraja (Malauraja), Boru Pamoras, Boru Pareme, Boru Biding Laut dan Natinjo.
Selanjutnya Raja Isumbaon mempunyai tiga orang anak yaitu Sorimangaraja, Raja Asi-asi dan Sangkarsomaling (Hutagalung, 1991:34)
Dari keturunan Raja Tatea Bulan terjadi perkawinan sumbang yaitu antara Tuan Sariburaja dengan adik kandungnya si Boru Pareme yang akhirnya menyebabkan perpecahan antara Sariburaja dengan adik-adiknya. Sariburaja memilih untuk melarikan diri ke hutan meninggalkan si Boru Pareme yang sedang hamil.
Si Boru Pareme tidak putus asa lalu mencarinya ke hutan. Di sana dia melahirkan putra yang sedang dikandungnya dan diberi nama Lontung atau dikenal kemudian Si Raja Lontung.
Dalam pengembaraan, Sariburaja kemudian menikah dengan Nai Mangiring Laut. Dari istri barunya ini lahirlah seorang anak yang bernama Borbor yang kemudian dikenal Si Raja Borbor.
Friksi dalam keluarga kecil ini menyebabkan perpecahan yang panjang antara Si Raja Lontung dengan Si Raja Borbor. Perselisihan tersebut berlanjut kepada keturunan masing-masing, dimana keturunan Raja Borbor kemudian beraliansi dengan keturunan Limbong Mulana, Sagalaraja dan Malauraja kontra keturunan Si Raja Lontung.
Karena itulah dalam kehidupan sosial berikutnya, aliansi keturunan Raja Borbor tersebut menggunakan panggilan "amangboru" yang lebih kurang berarti ipar dan tidak menggunakan tuturan seharusnya, yakni abang terhadap keturunan Si Raja Lontung.
Selanjutnya menurut A. Adnan Situmorang, Si Raja Lontung yang menikah dengan si Boru Pareme, yakni namborunya sendiri mendapat sembilan anak yakni Aritonang, Siregar, Simatupang, Situmorang, Toga Nainggolan, Toga Pandiangan. Toga Sinaga, Si Boru Panggabean, Si Boru makpandan. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh W. Hutagalung (1991:63)
Dengan terjadinya perkawinan sumbang atau kawin sedarah ini, maka dirasa sulit untuk menentukan posisi adat seperti "hula-hula", "dongan sabutuha" dan "borunya". Dengan kebuntuan ini, muncullah tokoh seperti Sorimangaraja putra dari Raja Isumbaon yang berinisiatif mendamaikan masalah perkawinan sumbang ini dengan mengambil beberapa keputusan yang pada akhirnya menjadi prinsip-prinsip adat dalam kebudayaan Batak yang diwarisi sampai sekarang.
Keputusan itu adalah:
1. Bahwa sesuatu masalah dapat dipecahkan dalam musyawarah untuk mendapat kesepakatan antara keturunan Si Raja Lontung, Borbor Bersatu dan Tuan Sorimangaraja.
2. Bahwa perkawinan sesama saudara adalah tabu. Tidak diperkenalkan terjadi dalam keturunan Si Raja Batak.
3. Bahwa segala "horja" dan bentuk peradatan, baru dapat berlaku apabila telah mendapat dukungan dari Raja Lontung, Borbor Bersatu dan Tuan Sorimangaraja. Ibarat tungku yang sama besar kokoh menampung periuk di atasnya. (Rajamarpodang, 1992:14)
Keputusan ini dilengkapi dengan peraturan-peraturan yang diabadikan dalam bentuk janji. Kemudian janji tersebut menjadi sumber hukum adat Batak yang disebut dengan Dalihan Na Tolu atau Tungku Nan Tiga. (Lihat: Lamhot Simarmata, Skripsi di IAIN Sumatera Utara, Fakultas Dakwah, Medan pada tahun 1997 dengan judul Pendayagunaan Dalihan Na Tolu Sebagai Sarana Pengembangan Dakwah di Kecamatan Harian Kabupaten Tapanuli Utara)
Dalam pemerintahan Sisingamangaraja, dikenal ada tiga pendetaraja yang menjadi penasehat politik dan adat bagi Dinasti Sisingamangaraja. Pertama adalah Ompu Palti Raja (selalu dijabat oleh marga keturunan Si Raja Lontung), Jonggi Manoar (dijabat oleh marga Borbor Bersatu biasanya Limbong atau Sagala) dan Baligeraja (yang selalu dijabat oleh keturunan Raja Isumbaon).
Tarik menarik pengaruh politik sering terjadi antara ketiga pendetaraja tersebut dalam hubungan dengan kedaulatan Sisingamangaraja. Pada pemerintahan Sisingamangaraja X terjadi friksi antara Sisingamangaraja X dengan Ompu Palti Raja saat putri Sisingamangaraja X yang bernama Nai Napatihan berkeinginan menikah dengan putra Ompu Palti Raja.
Nai Napatihan merupakan putri satu-satunya Sisingamangaraja X, dan putri pertama dari dinasti Sisingamaraja, di mana sejak Sisingamangaraja I sampai dengan yang kesembilan tidak pernah mempunyai anak perempuan. Hal ini dikaitkan sejarah akibat karma yang terjadi kepada Manghuntal, Sisingamangaraja I yang berseteru dengan namborunya yang juga bernama Nai Napatihan boru Sinambela. Perselisihan terjadi akibat kebijakan Sisingamangaraja yang terlalu pro kepada pihak miskin dan yang tertindas. Sebuah kebijakan yang tidak disukai oleh namborunya tersebut. Nai Napatihan akhirnya tewas dalam perang saudara dengan Sisingamangaraja I yang mendapat bantuan dari pasukan kavaleri penunggang gajah dari Kesultanan Barus.
Namun akhirnya, Sisingamangaraja dan keturunannya harus menerima kutukan alam saat semua keturunannya tidak pernah mendapat anak perempuan. Kutukan tersebut akhirnya bisa ditanggalkan pada Sisingamangaraja X, yang akhirnya mempunyai seorang putri dan diberi nama Nai Napatihan untuk menghormati Namboru S. M. Raja pertama yaitu Nai Napatihan.
Namun sayang, putri satu-satunya dan kesayangan tersebut akhirnya memilih menikah dengan putra Ompu Palti Raja dari marga keturunan Si Raja Lontung. Sisingamangaraja X khawatir dengan keamanan tahtanya apabila generasi Si Raja Lontung menikah dengan putrinya boru Sinambela akan menghasilkan persaingan politik yang berkepanjangan. Ketiga turunan di atas, yakni keturunan Si Raja Lontung, Borbor Bersatu dan Sumba terlibat dalam persaingan politik di berbagai daerah atau huta di tanah Batak. Lontung menguasai tanah Batak Selatan atau Tapanuli Selatan dan sebagian pulau Samosir, Borbor Bersatu menguasai tanah Batak Pesisir dan Sumba di pusat tanah Batak.
Akhirnya Nai Napatihan dan Suaminya yang putra pejabat lembaga Ompu Palti Raja tersebut, diungsikan secara santun oleh Sisingamangaraja X ke tanah Aceh atau tepatnya Singkil, agar tidak menjadi pesaingnya.
Dalam pengungsian lahirlah seorang anak yang bernama Pongkinangolngolan yang kemudian dikenal bernama Fakih Amiruddin, sesuai dengan kebiasaaan nama-nama Batak Singkil di sana.
Sejarah akhirnya berputar dimana Fakih Amiruddin ditakdirkan menjadi pemimpin sebuah pasukan Batak Padri yang datang dari tanah Batak selatan yang kemudian berseteru dengan Sisingamangaraja X di Bakkara. Fakih Amiruddin akhirnya memenangi pertempuran tersebut setelah seorang pasukannya dari marga Siregar berhasil menewaskan Sisingamangaraja X dan mendirikan pemerintahan Bataknya berpusat di Siborong-borong selama beberapa tahun. Dengan tewasnya Fakih Amiruddin atau yang dikenal dengan Tuanku Rao tersebut dalam pertempuran di Air Bangis melawan penjajah, maka kekuasaannya juga pudar di tanah Batak.
Ini adalah satu versi mengenai Fakih Amiruddin. Versi lain mengatakan bahwa dia sebenarnya marga Sinambela dari Ibu yang bernama Gana Sinambela putri Sisingamangaraja IX. Tapi pandangan ini sangat lemah karena putri kerajaan yang boru Sinambela hanya Nai Napatihan boru Sinambela, itupun baru pada era Sisingamangaraja X, akibat karma yang menimpa Dinasti Sisingamangaraja.
Versi lain mengatakan bahwa Ibunya adalah Nai Napatihan Sinambela yang menikah dengan seorang putra Aceh dan kemudian diusir dari tanah Batak. Ada juga versi lainnya yang mengatakan, dari sebuah disertasi sarjana Batak di UGM, bahwa Pongkinangolngolan bukanlah Tuanku Rao, tapi orang yang berbeda. Pongkinangolngolan bersama Tuanku Rao berseteru dengan Sisingamangaraja X dalam sebuah konstalasi politik saat itu.
Dimana Pongkinangolngolan yang orang batak penganut Islam dan Tuanku Rao bermaksud melakukan pembaharuan agama Islam di tanah Batak yang sudah banyak menganut Islam sejak abad ke-7 tapi berbau syiah, sinkretis dan adat. Pasukan Muslim Batak di bawah pimpinan Syarif Tanjung seorang panglima pasukan Sisingamangaraja X dan dengan dukungan Sisingamangaraja X, berhadapan dengan pasukan Batak Padri. Perang ini terjadi pada abad ke-19.
Guru Tatea Bulan mempunyai sembilan orang anak, lima laki-laki dan empat perempuan yaitu, Raja Biak-biak, Tuan Sariburaja, Limbong Mulana, Sagalaraja (Malauraja), Boru Pamoras, Boru Pareme, Boru Biding Laut dan Natinjo.
Selanjutnya Raja Isumbaon mempunyai tiga orang anak yaitu Sorimangaraja, Raja Asi-asi dan Sangkarsomaling (Hutagalung, 1991:34)
Dari keturunan Raja Tatea Bulan terjadi perkawinan sumbang yaitu antara Tuan Sariburaja dengan adik kandungnya si Boru Pareme yang akhirnya menyebabkan perpecahan antara Sariburaja dengan adik-adiknya. Sariburaja memilih untuk melarikan diri ke hutan meninggalkan si Boru Pareme yang sedang hamil.
Si Boru Pareme tidak putus asa lalu mencarinya ke hutan. Di sana dia melahirkan putra yang sedang dikandungnya dan diberi nama Lontung atau dikenal kemudian Si Raja Lontung.
Dalam pengembaraan, Sariburaja kemudian menikah dengan Nai Mangiring Laut. Dari istri barunya ini lahirlah seorang anak yang bernama Borbor yang kemudian dikenal Si Raja Borbor.
Friksi dalam keluarga kecil ini menyebabkan perpecahan yang panjang antara Si Raja Lontung dengan Si Raja Borbor. Perselisihan tersebut berlanjut kepada keturunan masing-masing, dimana keturunan Raja Borbor kemudian beraliansi dengan keturunan Limbong Mulana, Sagalaraja dan Malauraja kontra keturunan Si Raja Lontung.
Karena itulah dalam kehidupan sosial berikutnya, aliansi keturunan Raja Borbor tersebut menggunakan panggilan "amangboru" yang lebih kurang berarti ipar dan tidak menggunakan tuturan seharusnya, yakni abang terhadap keturunan Si Raja Lontung.
Selanjutnya menurut A. Adnan Situmorang, Si Raja Lontung yang menikah dengan si Boru Pareme, yakni namborunya sendiri mendapat sembilan anak yakni Aritonang, Siregar, Simatupang, Situmorang, Toga Nainggolan, Toga Pandiangan. Toga Sinaga, Si Boru Panggabean, Si Boru makpandan. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh W. Hutagalung (1991:63)
Dengan terjadinya perkawinan sumbang atau kawin sedarah ini, maka dirasa sulit untuk menentukan posisi adat seperti "hula-hula", "dongan sabutuha" dan "borunya". Dengan kebuntuan ini, muncullah tokoh seperti Sorimangaraja putra dari Raja Isumbaon yang berinisiatif mendamaikan masalah perkawinan sumbang ini dengan mengambil beberapa keputusan yang pada akhirnya menjadi prinsip-prinsip adat dalam kebudayaan Batak yang diwarisi sampai sekarang.
Keputusan itu adalah:
1. Bahwa sesuatu masalah dapat dipecahkan dalam musyawarah untuk mendapat kesepakatan antara keturunan Si Raja Lontung, Borbor Bersatu dan Tuan Sorimangaraja.
2. Bahwa perkawinan sesama saudara adalah tabu. Tidak diperkenalkan terjadi dalam keturunan Si Raja Batak.
3. Bahwa segala "horja" dan bentuk peradatan, baru dapat berlaku apabila telah mendapat dukungan dari Raja Lontung, Borbor Bersatu dan Tuan Sorimangaraja. Ibarat tungku yang sama besar kokoh menampung periuk di atasnya. (Rajamarpodang, 1992:14)
Keputusan ini dilengkapi dengan peraturan-peraturan yang diabadikan dalam bentuk janji. Kemudian janji tersebut menjadi sumber hukum adat Batak yang disebut dengan Dalihan Na Tolu atau Tungku Nan Tiga. (Lihat: Lamhot Simarmata, Skripsi di IAIN Sumatera Utara, Fakultas Dakwah, Medan pada tahun 1997 dengan judul Pendayagunaan Dalihan Na Tolu Sebagai Sarana Pengembangan Dakwah di Kecamatan Harian Kabupaten Tapanuli Utara)
Dalam pemerintahan Sisingamangaraja, dikenal ada tiga pendetaraja yang menjadi penasehat politik dan adat bagi Dinasti Sisingamangaraja. Pertama adalah Ompu Palti Raja (selalu dijabat oleh marga keturunan Si Raja Lontung), Jonggi Manoar (dijabat oleh marga Borbor Bersatu biasanya Limbong atau Sagala) dan Baligeraja (yang selalu dijabat oleh keturunan Raja Isumbaon).
Tarik menarik pengaruh politik sering terjadi antara ketiga pendetaraja tersebut dalam hubungan dengan kedaulatan Sisingamangaraja. Pada pemerintahan Sisingamangaraja X terjadi friksi antara Sisingamangaraja X dengan Ompu Palti Raja saat putri Sisingamangaraja X yang bernama Nai Napatihan berkeinginan menikah dengan putra Ompu Palti Raja.
Nai Napatihan merupakan putri satu-satunya Sisingamangaraja X, dan putri pertama dari dinasti Sisingamaraja, di mana sejak Sisingamangaraja I sampai dengan yang kesembilan tidak pernah mempunyai anak perempuan. Hal ini dikaitkan sejarah akibat karma yang terjadi kepada Manghuntal, Sisingamangaraja I yang berseteru dengan namborunya yang juga bernama Nai Napatihan boru Sinambela. Perselisihan terjadi akibat kebijakan Sisingamangaraja yang terlalu pro kepada pihak miskin dan yang tertindas. Sebuah kebijakan yang tidak disukai oleh namborunya tersebut. Nai Napatihan akhirnya tewas dalam perang saudara dengan Sisingamangaraja I yang mendapat bantuan dari pasukan kavaleri penunggang gajah dari Kesultanan Barus.
Namun akhirnya, Sisingamangaraja dan keturunannya harus menerima kutukan alam saat semua keturunannya tidak pernah mendapat anak perempuan. Kutukan tersebut akhirnya bisa ditanggalkan pada Sisingamangaraja X, yang akhirnya mempunyai seorang putri dan diberi nama Nai Napatihan untuk menghormati Namboru S. M. Raja pertama yaitu Nai Napatihan.
Namun sayang, putri satu-satunya dan kesayangan tersebut akhirnya memilih menikah dengan putra Ompu Palti Raja dari marga keturunan Si Raja Lontung. Sisingamangaraja X khawatir dengan keamanan tahtanya apabila generasi Si Raja Lontung menikah dengan putrinya boru Sinambela akan menghasilkan persaingan politik yang berkepanjangan. Ketiga turunan di atas, yakni keturunan Si Raja Lontung, Borbor Bersatu dan Sumba terlibat dalam persaingan politik di berbagai daerah atau huta di tanah Batak. Lontung menguasai tanah Batak Selatan atau Tapanuli Selatan dan sebagian pulau Samosir, Borbor Bersatu menguasai tanah Batak Pesisir dan Sumba di pusat tanah Batak.
Akhirnya Nai Napatihan dan Suaminya yang putra pejabat lembaga Ompu Palti Raja tersebut, diungsikan secara santun oleh Sisingamangaraja X ke tanah Aceh atau tepatnya Singkil, agar tidak menjadi pesaingnya.
Dalam pengungsian lahirlah seorang anak yang bernama Pongkinangolngolan yang kemudian dikenal bernama Fakih Amiruddin, sesuai dengan kebiasaaan nama-nama Batak Singkil di sana.
Sejarah akhirnya berputar dimana Fakih Amiruddin ditakdirkan menjadi pemimpin sebuah pasukan Batak Padri yang datang dari tanah Batak selatan yang kemudian berseteru dengan Sisingamangaraja X di Bakkara. Fakih Amiruddin akhirnya memenangi pertempuran tersebut setelah seorang pasukannya dari marga Siregar berhasil menewaskan Sisingamangaraja X dan mendirikan pemerintahan Bataknya berpusat di Siborong-borong selama beberapa tahun. Dengan tewasnya Fakih Amiruddin atau yang dikenal dengan Tuanku Rao tersebut dalam pertempuran di Air Bangis melawan penjajah, maka kekuasaannya juga pudar di tanah Batak.
Ini adalah satu versi mengenai Fakih Amiruddin. Versi lain mengatakan bahwa dia sebenarnya marga Sinambela dari Ibu yang bernama Gana Sinambela putri Sisingamangaraja IX. Tapi pandangan ini sangat lemah karena putri kerajaan yang boru Sinambela hanya Nai Napatihan boru Sinambela, itupun baru pada era Sisingamangaraja X, akibat karma yang menimpa Dinasti Sisingamangaraja.
Versi lain mengatakan bahwa Ibunya adalah Nai Napatihan Sinambela yang menikah dengan seorang putra Aceh dan kemudian diusir dari tanah Batak. Ada juga versi lainnya yang mengatakan, dari sebuah disertasi sarjana Batak di UGM, bahwa Pongkinangolngolan bukanlah Tuanku Rao, tapi orang yang berbeda. Pongkinangolngolan bersama Tuanku Rao berseteru dengan Sisingamangaraja X dalam sebuah konstalasi politik saat itu.
Dimana Pongkinangolngolan yang orang batak penganut Islam dan Tuanku Rao bermaksud melakukan pembaharuan agama Islam di tanah Batak yang sudah banyak menganut Islam sejak abad ke-7 tapi berbau syiah, sinkretis dan adat. Pasukan Muslim Batak di bawah pimpinan Syarif Tanjung seorang panglima pasukan Sisingamangaraja X dan dengan dukungan Sisingamangaraja X, berhadapan dengan pasukan Batak Padri. Perang ini terjadi pada abad ke-19.