Oleh: Lamhot Simarmata
Merupakan bagian dari skripsinya di IAIN Sumatera Utara, Fakultas Dakwah, Medan pada tahun 1997 dengan judul Pendayagunaan Dalihan Na Tolu Sebagai Sarana Pengembangan Dakwah di Kecamatan Harian Kabupaten Tapanuli Utara
a. Adat Perkawinan (mulai dari halaman 45)
Perkawinan yang dilaksanakan masyarakat Batak Toba pada zaman dahulu sebelum menganut agama bersifat poligami bagi orang yang mampu memnuhi persyaratan menikah dengan tujuan memperbanyak keturunan, terutama anak laki-laki, menambah kekayaan, menunjukkan kemampuan, merupakan kebanggaan dan memenuhi kebutuhan biologis. Namun setelah datangnya agama ke tanah Batak, perkawinana bersifat monogami.
Perkawinan dilakukan melalui beberapa tahap
I. Martandang atau Mangaririt yang berarti mencari jodoh.
Ada umpama Batak yang menyatakan "Balga anak parsohotan, magodang boru pamulion asa marhasohotan" ini berarti agar setiap anak laki-laki dan anak perempuan yang telah dewasa agar memikirkan untuk membentuk rumah tangga.
Pencarian pasangan atau jodoh ini dilakukan dalam berbagai bentuk. Ada dengan perjodohan biasanya dengan pihak keluarga istri yang disebut sebagai perkawinan ideal (Turnip, 1978: 28). Ada juga dengan usaha anak itu sendiri.
Langkah berikutnya adalah pertukaran cincin yang disebut "mangalehon tanda hata" berupa materi dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Pihak perempuan akan menimpalinya dengan memberikan sehelai kain sarung sebagai tanda persetujuan.
Setelah acara tukar menukar cincin, langkah berikutnya dengan meresmikannya secara adat. Pihak keluarga laki-laki mengutus menantunya (parboru) yang akan diterima oleh pihak perempuan melalui pihak menantunya juga.
Proses musyawarah antara kedua belah pihak ini disebut "marhusip". Marhusip merupakan acara pendahuluan dalam membicarakan beberap hal. Misalnya Tanggal dan hari meminang, jumlah "sinamot" yang akan diserahkan. Sinamot adalah mas kawin atau mahar beserta ulos. Cara pemberian melalui kumpulan orang atau individu. Juga dibicarakan jenis hewan yang akan menjadi menu santapan undangan, jumlah ulos dan lain sebagainya.
Hasil dari marhusip ini dilaporkan kepada kedua belah pihak. Fungsi menantu ini, atau parboru dalam sebuah acara perkawinan sangat jelas sebagai penghubung. Hasil dari pembicaraan tersebut dikonfirmasi kembali dalam sebuah acara yang disebut "marhata sinamot".
II. Marhata Sinamot
Pertemuan lanjutan dalam marhata sinamot membicarakan hal-hal sebagai berikut:
1. Jenis pesta yang akan dilakukan. "Pesta ditaruhon jual (pesta di tempat laki-laki) atau dialap jual (di tempat perempuan) atau bentuk kesederhanaan adatnya.
2. Kepastian jumlah mas kawin atau mahar.
3. Pembayaran "bohi ni sinamot" atau uang muka mahar.
4. Jenis hewan "panjuhuti" dalam menu.
5. Jumlah ulos yang akan diserahkan pihak perempuan kepada pihak laki-laki.
6. Waktu dan tanggal pesta perkawinan.
7. Dan lain-lain
Pemberian mahar kepada perempuan dilakukan dengan memberikannya kepada pihak perempuan melalui orang tua kandung yang disebut "suhut parboru". Salah satu dari daudara laki-laki pihak peremuan disebut "Simoholon", Salah satu saudara laki-laki dari ayah pihak perempuan disebut "tamarai" . Sa;ah satu dari saudari perempuan pihak perempuan disebut "pariban", salah satu dari saudara laki-laki dari ibu pengantin perempuan disebut "tulang" atau "hula-hula". Ini disebut dalam istikah adat Batak Toba "suhi ni ampang na opat" (Rajamarpodang, 1992:300). Kesemuanya yang disebut di atas mendapat bagian (jambar) secara bertingkat sesuai dengan kedudukan adatnya.
III. Pesat Perkawinan
Pesta perkawinan disebut "mangadati boru" di pihak perempuan. Pihak lak-laki menyebutnya "mangadati anak". Semua istilah mempunyai pengertian yang sama.
Dalam pesta tersebut, peran pihak menantu, sangat jelas dalam mempersiapkan segala peralatan dan pekerjaan. Mereka adalah "event organizer" nya. Apabila ada sesuatu yang membuat pesat tidak berjalan sebagai mana mestinya maka pihak menantulah yang dimintai pertanggungjawabannya.
Di samping itu, bantuan berupa tenaga, pikiran dari "dongan sabutuha" yang dipimpin oleh orang tua dan tokoh adat sangat diharapkan.
b. Adat Kemalangan
Peristiwa kemalangan atau saat ada yang meninggal dunia disebut dengan istilah "monding". Sesuai dengan umu, golongan dan jenis kelamin, penyebutan terhadap masing-masing yang meninggal dunia sangat berbeda di adat Batak.
Bagi anak meninggal dunia pada saat baru lahir atau balita, maka biasanya mayat anak tersebut dibungkus dengan bawaan lahirnya dan dikubur secepatnya tanpa menunggu lama. Posisi ini disebut "natarlitak". Apabila anak tersebut sudah mempunyai nama, maka adat penguburannya sesuai dengan agamanya.
Bagi seseorang yang meninggal dewasa, dalam hal sudah mempunyai anak laki-laki maupun perempuan tapi belum ada yang menikah dari anak-anaknya tersebut disebut "mate mangkar". Maksudnya kondisi seseorang yang sudah mempunyai keturunan tapi belum mempunyai cucu. Bentuk kematian ini disebut "manadikkon na sapsap mardum" artinya meninggalkan anak yang belum tahu apa-apa. Biasanya untuk kondisi ini belum ada adat untuk upacara penguburannya.
Seorang yang meninggal dan sudah mempunyai cucu dari anak laki-laki dan perempuan disebut "saurmatua" (Sihombing, 1989:323). Maka penguburannya harus dipestakan secara adat minimal sebuah perjamuan makan. Maksimalnya membunyikan "gondang" (musik tradisi Batak) satu hari satu malam.
Dalam hal saurmatua ini ada beberap kebiasaan yang mengikutinya.
a. Ratap Tangis
Orang Batak yang ditinggal orang tuanya dalam kondisi "saurmatua" akan mengenang jasa orang tersebut dalam ratap tangis. Mereka yang sudah Islampun akan melakukan hal yang sama tapi berbeda intensitasnya.
b. Mangarapot
Yakni pemberitahuan kepada pihak-pihak yang berwenang. Terutama anak-anaknya dan para hula-hula (keluarga pihak istri), boru (keluarga pihak menantu) dan dongan sabutuha.
Semua sanak keluarga yang mengetahui akan datang tanpa diundang dan disini lah diadakan acara mangarapo atau pembicaraan yang berhubungan dengan adat.
c. Mandikan Mayat
Setelah selesai pembicaraan acara adatnya maka mayat pun dimandikan. Selanjuntnya melakukan kewajiban lainnya, mengkafani, mensholatkan dan menguburkannya. Acara adat dilakukan setelah semua proses ini.
d. Acara adat
Dilakukan sebuah perjamuan makan yang menyediakan menu yang terdiri dari hewan yang menjadi syarat adat yakni, kerbau atau lembu atau kambing sebagai lauk para tamu. Para tamu datang dengan beras atau bentuk materi lainnya seperti uang sebagai tanda belasungkawa dan meringankan beban keluarga yang ditinggal yang diterima di meja depan oleh yang diwakilkan keluarga dan semuanya harus dicatat sebagai bentuk terima kasih dari keluarga.
Dalam adat pemotongan hewan, dilakukan menurut ketentuannya. Bagian kepala akan diberikan kepada hula-hula, bagian leher untuk boru dan bagian ekor kepada yang mengalami musibah yang disebut "suhut takkasan" dan bagian pundak untuk dongan sabutuha sebagai yang ikut bertanggung jawab dalam acara tersebut.
Fungsi dari ini semua adalah: Sebagai perpisahan terakhir, sebagai pelaksanaan adat, sebagai balas jasa, sebagai pertanggung jawaban, sebagai salah satu cara menghormati orang tua dan sebagai pengumuman status yang meninggal. Demikian diutarakan oleh Bapak Pasaruddin Pasaribu BA kepada Lamhot Simarmata penulis skripsi ini.
Mangokkal Holi (menggali tulang)
Orang Batak sangat mengormati orang tua mereka yang sudah meninggal. Dahulu kala orang Batak mewujudkannya dalam bentuk menggali tulang belulang leluhurnya dan memasukkannya kedalam kuburan permanen yakni "batu na pir". Kebiasaan ini dilakukan sejak masa anamisme sebagai bagian dalam pemujaan roh nenek moyang.
Orang Batak Islam juga melakukan hal yang sama dengan perwujudan yang berbeda dengan melakukan ziarah kubur dengan tujuan mengenang jasa dan penghormatan dan bukan pemujaan kepada lelulur.
Bentuk ziarah tersebut dimanifestasikan dalam bentuk doa bersama yang menghadirkan semua golongan adat. Di berbagai tempat acara tersebut dinamakan kenduri. Dengan membunyikan gondang tujuh hari tujuh malam dan minimalnya satu hari satu malam.