Our Blog

Syair Fansuri


Martin van Bruinessen, "Mencari ilmu dan pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara naik haji"
("Seeking knowledge and merit: Indonesians on the haj"),
Ulumul Qur'an (Jakarta) Vol II No 5, 1990, 42- 49.



Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci:
Orang Nusantara Naik Haji
Martin van Bruinessen

Di antara seluruh jemaah haji, orang Nusantara selama satu setengah abad terakhir merupakan proporsi yang sangat menonjol. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, jumlah mereka berkisar antara 10 dan 20 persen dari seluruh haji asing, walaupun mereka datang dari wilayah yang lebih jauh daripada yang lain. Malah pada dasawarsa 1920-an sekitar 40 persen dari seluruh haji berasal dari Indonesia.[1] Orang Indonesia yang tinggal bertahun-tahun atau menetap di Makkah pada zaman itu juga mencapai jumlah yang cukup berarti. Di antara semua bangsa yang berada di Makkah, orang 'Jawah' (Asia Tenggara) merupakan salah satu kelompok terbesar.[2] Sekurang-kurangnya sejak tahun 1860, bahasa Melayu merupakan bahasa kedua di Makkah, setelah bahasa Arab. Kita tidak mempunyai data statistik mengenai jemaah haji Indonesia abad-abad sebelumnya. Sebelum munculnya kapal api jumlah mereka pasti lebih sedikit, karena perjalanan dengan kapal layar cukup berbahaya dan makan waktu lama sekali. Namun bagi umat Islam Indonesia ibadah haji sejak lama mempunyai peranan amat penting. Ada kesan bahwa orang Indonesia lebih mementingkan haji daripada banyak bangsa lain, dan bahwa penghargaan masyarakat terhadap para haji memang lebih tinggi. Keadaan ini mungkin dapat dikaitkan dengan budaya tradisional Asia Tenggara.

Makkah sebagai pusat dunia dan sumber 'ngelmu'

Dalam kosmologi Jawa, seperti halnya banyak kosmologi Asia Tenggara lainnya, pusat-pusat kosmis, titik temu antara dunia fana kita dengan alam supranatural, memainkan peranan sentral. Kuburan para leluhur, gunung, gua dan hutan tertentu serta tempat 'angker' lainnya tidak hanya diziarahi sebagai ibadah saja tetapi juga dikunjungi untuk mencari ilmu ('ngelmu') alias kesaktian dan legitimasi politik ('wahyu' - istilah yang dipinjam kerajaan Mataram dari Islam dengan mengubah artinya). Setelah orang Jawa mulai masuk Islam, Makkahlah yang, tentu saja, dianggap sebagai pusat kosmis utama. Bukankah Makkah merupakan kiblat bagi seluruh umat Islam, bukankah di sana turun wahyu kepada Nabi, bukankah tanah suci merupakan pusat keilmuan Islam? Sebetulnya, pada masa itu ada berbagai pusat keilmuan lain yang tidak kalah dibandingkan dengan Makkah dan Madinah, tetapi orang Asia Tenggara mencarinya di Tanah Suci ini. Kita tidak tahu kapan orang Jawa yang pertama naik haji, tetapi menjelang pertengahan abad ke- 17 raja-raja Jawa mulai mencari legitimasi politik di Makkah.

Pada tahun 1630-an, raja Banten dan raja Mataram, yang saling bersaing, mengirim utusan ke Makkah untuk, antara lain, mencari pengakuan dari sana dan meminta gelar 'Sultan'. Agaknya raja-raja tersebut beranggapan bahwa gelar yang diperoleh dari Makkah akan memberi sokongan supranatural terhadap kekuasaan mereka. Sebetulnya, di Makkah tidak ada instansi yang pernah memberi gelar kepada penguasa lain. Para raja Jawa tadi rupanya menganggap bahwa Syarif Besar, yang menguasai Haramain (Makkah dan madinah) saja, memiliki wibawa spiritual atas seluruh Dar al-Islam. Rombongan utusan dari Banten pulang pada tahun 1638 (sedang yang dari Mataram baru sampai pada tahun 1641). Selain gelar Sultan mereka membawa berbagai hadiah dari Syarif Besar kepada sang raja: antara lain suatu potongan dari kiswah, kain hitam yang menutup Ka`bah dan yang setiap tahun diperbaharui - yang tentu saja dianggap sebagai jimat yang sangat mangkus.[3] Beberapa puluh tahun kemudian, pada tahun 1674, untuk pertama kalinya seorang pangeran Jawa juga naik haji. Ia adalah putra Sultan Ageng Tirtayasa (Banten), Abdul Qahhar, yang belakangan dikenal sebagai Sultan Haji.

Fungsi haji sebagai legitimasi politik terlihat jelas sekali dalam Sajarah Banten, babad yang dikarang pada paroh kedua abad ke-17. Menurut sejarah legendaris ini, pendiri dinasti Islam di Banten, Sunan Gunung Jati, naik haji bersama dengan anak dan penggantinya, Hasanuddin, setelah mereka bertapa di berbagai gunung (pusat kosmis!) di Jawa Barat. Dari Sajarah sendiri sudah jelas bahwa haji mereka bukan suatu perjalanan biasa, dengan naik perahu dan sebagainya. Mereka sebagai wali mencapai Makkah dengan cara lain, yang tak patut diungkapkan.[4] Perjalanan haji ini digambarkan lebih lanjut dalam karya berbahasa Melayu, Hikayat Hasanuddin, yang dikarang sekitar 1700. Sunan Gunung Jati mengajak anaknya:

"Hai anakku ki mas, marilah kita pergi haji, karena sekarang waktu orang naik haji, dan sebagai pula santri kamu tinggal juga dahulu di sini dan turutlah sebagaimana pekerti anakku!" Setelah sudah ia berkata-kata, maka lalulah ia berjalan dengan anaknya dan dibungkusnya dengan syal. Maka tiada beberapa lamanya di jalan lalu ia sampai di Makkah, maka lalu di Masjidul Haram. Serta sampai di Masjidul Haram maka lalu dikeluarkannya anaknya dari dalam bingkisan, lalu sama-sama ia thawaf ke Baitullah serta diajarnya pada kelakuan thawaf dan do'anya sekalian, serta mencium pada hajarul aswad, dan ziarat kepada segala syaikh, dan diajarkannya rukun haji dan kesempurnaan haji. Setelah sudah ia mendapat haji, maka lalu ia ziarat kepada Nabiyullah Khidhir. Setelah sudah ia ziarat kepada Nabiyullah Khidhir itu, lalu ia pergi ke Medinah serta mengajarkan anaknya ilmu yang sempurna, beserta dengan bai'at demikianlah silsilah dan wirid dan tarekat Naqsyabandiyah serta dzikir dan talkin dzikir [dan] khirqah serta syughul...[5]

Selain dua tokoh sejarah ini, masih banyak tokoh lain yang belakangan, untuk meningkatkan kharisma mereka, disebut telah naik haji secara supranatural. Di sebuah gua besar di Pamijahan (Tasikmalaya Selatan), salah satu pusat penyebaran tarekat Syattariyah di pulau Jawa, para juru kunci masih menunjukkan sebuah lorong sempit yang konon dilalui Syaikh Muhyiddin untuk pergi ke Makkah setiap hari Jumat. Di Cibulakan (Pandeglang, Banten) ada sumur yang konon berhubungan dengan sumur Zamzam di Makkah. Menurut riwayat, Maulana Mansur, seorang wali lokal yang dimakamkan di Cikaduwen, pulang dari Makkah melalui Zamzam dan muncul di sumur ini. Dan sampai sekarang masih ada kyai di Jawa yang, menurut penganut mereka yang paling fanatik, setiap Jumat secara ghaib pergi sembahyang di Masjidil Haram. Semua ini membuktikan betapa kuatnya peranan haji dan hubungan dengan Makkah sebagai legitimasi kekuasaan atau keilmuan seseorang dalam pandangan orang Jawa.

Penilaian orang Jawa yang begitu tinggi terhadap Makkah sebagai pusat spiritual tidak terbatas pada kalangan santri saja. Kasus yang paling menarik dari tokoh yang belakangan 'dihajikan' oleh pengagumnya adalah Aji Saka, pencipta mitologis budaya Jawa. Menurut suatu naskah Jawa, yang ditemukan di Kediri pada pertengahan abad ke-19, Aji Saka pergi ke Makkah dan memperoleh ilmu dari Nabi Muhammad. Yang lebih mengagetkan lagi, orang Tengger, yang konon menganut agama Hindu Jawa, juga pernah mengaku demikian. Menurut legenda Tengger ini, Aji Saka pada awalnya memperoleh ilmu dari Antaboga, sang raja naga. Setelah dikembalikan ke rumah kakeknya, Kiai Kures (Quraisy), sang kakek melihat cucunya menjadi luar biasa cakap. "Tetapi ada satu yang masih lebih cakap dari ia", ujar Antaboga, "namanya adalah Muhammad dan tempat tinggalnya Makkah. Kirimlah cucumu kepada beliau agar menambah ilmu." Aji dikirim ke Makkah, dan di sana berguru kepada Nabi Muhammad. Setelah selesai belajar, Muhammad memberikannya sebuah kropak (buku lontar) dan pangot (pisau untuk menulis atas lontar), dan mengirimnya kembali ke Timur.[6] Legenda ini, pada hemat saya, menunjukkan sikap apologetis orang Tengger dan abangan terhadap kalangan santri. Kropak dan pangot merupakan simbol sastra dan budaya Jawa yang non-Islam (atau non-santri), sedangkan Aji Saka dikenal sebagai pencipta aksara Jawa, kalender Jawa (tahun Saka) dan undang-undang Jawa. Seolah-olah mereka ingin mengatakan "kami sudah mempunyai ilmu dari Nabi Muhammad, jauh sebelum kalian, kaum santri, mulai naik haji. Islam yang sebenarnya adalah budaya Jawa kami!" Yang menarik di sini, mereka juga mengakui Makkah, dan bukan salah satu tempat di Jawa atau India sebagai pusat kosmis yang terpenting.

Seperti diketahui, di berbagai daerah di Indonesia ada tempat yang oleh masyarakat sekitarnya dianggap setaraf dengan Makkah sebagai pusat kosmis. Pada awal abad ini, di daerah Kuningan terdapat kepercayaan bahwa tiga kali naik Gunung Ciremai sama pahalanya dengan naik haji. Di Madura, masih ada orang yang percaya bahwa bagi yang tidak mampu naik haji, ziarah ke Batu Ampar akan mendatangkan pahala yang sama. Dan di Sulawesi Selatan terkenal aliran yang menganggap bahwa naik gunung Bawa Karaeng pada hari Idul Adha sama dengan ibadah haji ke Makkah. Tetapi tidak satu pun di antara tempat-tempat ini dianggap lebih hebat daripada Makkah; semua dibandingkan dengan Makkah, yang keunggulannya secara implisit diakui.

Haji sebagai ibadah dan sebagai pencarian ilmu

Selain untuk mencari legitimasi, 'ngelmu' atau ilmu, orang Indonesia sejak dulu, tentu saja, naik haji juga karena syari'at mewajibkannya bagi yang mampu. Penyair sufi Batak yang kontroversial, Hamzah Fansuri, dalam salah satu syairnya sudah bicara tentang haji sebagai rukun kelima. Hamzah sendiri telah naik haji, dan dengan menunaikan kewajiban ini ia berharap 'menemukan Tuhan'. Tetapi untuk mencapai tujuan itu ternyata perjalanan lahir ke Makkah tidak cukup:

Sidang `asyiq mencari Lawan
ke Bait al-Qudus pergi berjalan
kerjanya da'im membuangkan kawan
itulah sedia anak bangsawan

Ialah sampai terlalu `asyiq
da'im ia minum pada cawan Khaliq
mabuk dan gila ke Hadhrat Raziq
itulah thalib da`wanya shadiq

Minuman itu terlalu masak habis
dapat diminum pada fardh yang khamis
jika hendak kau minum sekalian habis
wujud wahmi jangan kau labis
.....
.....
.....
Hamzah Fansuri di dalam Makkah
mencari Tuhan di Bait al-Ka`bah
di Barus ke Qudus terlalu payah
akhirnya dapat di dalam rumah[7]

Syair ini mengingatkan kita kepada cerita sufi dalam karya al-`Attar, Manthiq Al-Thair ('Musyawarah Burung'). Tiga puluh burung berangkat mencari dewa burung mitologis yang namanya Simurgh. Pencarian ini membawa mereka melalui seluruh dunia tanpa berhasil - sehingga mereka menyadari bahwa Simurgh sebetulnya tidak lain dari mereka sendiri: si murgh berarti 'tiga puluh burung'. Demikian juga rombangan `asyiq ('pecinta') dalam syair Hamzah mencari lawannya, yaitu Tuhan, melalui perjalanan ke kota-kota suci Makkah dan Qudus (Yerusalem). Hamzah, yang lahir di Barus dan rupanya telah naik haji dan berziarah sampai ke Qudus, mengklaim akhirnya menemukan Tuhan di dalam dirinya.

Pengalaman ruhani ini, yaitu suatu penghayatan mendalam faham wahdat al-wujud, untuk pertama kali diperolehnya ketika ia bermukim di ibukota Muangthai zaman itu, seperti diuraikannya dalam syair yang lain (Hamzah nin asalnya Fansuri / mendapat wujud di tanah Syahr Nawi). Syahr Nawi (nama Farsi untuk kota Ayuthia) pada masa itu merupakan pusat perdagangan internasional yang penting, tempat tinggal banyak orang Islam, terutama yang berasal dari Iran dan India. Namun bagi orang Indonesia generasi berikutnya, tempat 'mencari Tuhan', yaitu memperdalam ilmu ilmu Islam, baik fiqih maupun tasawwuf, metafisika dan 'ilmu ghaib', tetap adalah Makkah dan Madinah. Walaupun Islam di Indonesia pada abad ke-17 diwarnai oleh pengaruh India, pengaruh itu datang tidak langsung dari India tetapi melalui dua kota suci itu. Tokoh- tokoh yang menyebarkan faham wahdat al-wujud dan tarekat-tarekat di Indonesia pada abad ke-17 telah mempelajarinya di tanah suci.

Kita hanya mengetahui beberapa nama saja dari semua orang Indonesia yang telah naik haji dan mencari ilmu di tanah suci. Syaikh Yusuf Makassar berangkat ke tanah Arab pada tahun 1644 dan baru kembali ke Indonesia sekitar tahun 1670. Ia belajar kepada banyak ulama besar, terutama ulama tasawwuf, dan memperoleh ijazah untuk mengajar berbagai tarekat. Yang dicari Yusuf bukan kesaktian saja. Di bawah bimbingan Syaikh Ibrahim al-Kurani di Madinah ia antara lain mempelajari kitab falsafah, kalam dan tasawwuf yang sangat sulit seperti Al-Durrah Al-Fakhirah karangan `Abd al-Rahman Jami.[8] Setelah Yusuf pulang ke Indonesia, ia bukan hanya menyebarkan tarekat Khalwatiyah saja tetapi punya peranan politik yang cukup penting sebagai penasehat Sultan Ageng Tirtayasa di Banten. Ketika Kompeni Belanda campur tangan dalam urusan intern Banten dan membantu putra Sultan Ageng, Sultan Haji, menyingkirkan ayahnya, Yusuf membawa penganutnya ke gunung dan memimpin gerilya melawan Belanda sampai akhirnya - setelah hampir dua tahun - ia ditangkap dan dibuang ke Selon (Sri Lanka).

Ulama lain yang juga lama menetap dan memperdalam ilmu-ilmu agama di Makkah dan Madinah adalah Ulama Batak `Abd al-Ra'uf Singkel, yang kemudian mencapai kedudukan tinggi di Aceh. `Abd al-Ra'uf dikenal sebagai pembawa tarekat Syattariyah ke Indonesia dan sebagai penerjemah dan penyunting Tafsir Jalalain dalam bahasa Melayu. Gurunya yang paling penting di Madinah tidak lain dari Ibrahim al-Kurani tadi. Pada masanya Ibrahim adalah ulama yang paling besar di Madinah, dan murid-murdinya datang dari seluruh dunia Islam. Melalui muridnya ia mempengaruhi gerakan reformis abad ke-18 di berbagai negara. Baik Muhammad bin `Abd al-Wahhab di tanah Arab maupun Syah Waliyullah di India dan reformis Muslim Cina Ma Mingxin telah belajar kepada murid-murid Ibrahim al-Kurani.[9] Selain Yusuf dan `Abd al-Ra'uf barangkali masih ada banyak orang Indonesia lainnya yang telah belajar kepada ulama besar ini. Salah satu karya Ibrahim ditulisnya khusus untuk murid-muridnya dari Indonesia, mungkin atas permintaan `Abd al-Ra'uf. Tulisan ini merupakan komentar terhadap suatu teks wahdat al-wujud yang sangat populer di Indonesia, Tuhfah Al-Mursalah. Karena kitab ini di Indonesia telah menimbulkan penyimpangan ke arah panteisme, Ibrahim menulis koreksi dan memberikan penjelasan lebih ortodoks tentang faham wahdat al-wujud.[10]

Dari contoh di atas kita melihat beberapa fungsi sosiologis haji. Orang Indonesia mencari ilmu di Makkah dan Madinah dan setelah pulang ke tanah air mereka mengajar kepada masyarakat sekitarnya ilmu-ilmu yang telah mereka pelajari di tanah suci. Praktek-praktek keagamaan di Indonesia senantiasa mendapat koreksi dari sana juga. Islamisasi Indonesia, pada hemat saya, perlu dilihat sebagai suatu proses yang sudah berlangsung sejak abad ke-13 dan yang masih terus berlanjut sampai sekarang. Entah siapa yang pertama-tama membawa Islam ke Indonesia - apakah orang India, Arab atau Cina - yang jelas bahwa sejak abad ke-17 peranan utama dimainkan oleh orang Nusantara sendiri yang telah belajar di tanah suci. Semua gerakan pemurnian dan pembaharuan di Nusantara, sampai awal abad ke-20, bersumber dari Makkah dan Madinah.

Di tanah Arab, para haji Indonesia juga bertemu dengan saudara seiman dari seluruh dunia Islam, yang belajar kepada guru-guru yang sama, dan dengan demikian mereka mengetahui perkembangan dan gerakan di negara-negara Muslim lainnya. Akhirnya, perkembangan-perkembangan di pelosok dunia Islam lainnya juga mempunyai dampak di Indonesia. Setelah penjajahan Belanda sudah mantap di pulau Jawa dan beberapa daerah lainnya, haji masih mendapat suatu fungsi baru. Di Makkah, para haji berada di bawah suatu pemerintahan Islam, bebas dari campur tangan penjajah. Situasi ini tidak mungkin tidak membuat mereka lebih sadar terhadap kolonialisme. Pada tahun 1772, seorang ulama kelahiran Palembang yang menetap di Makkah (kemungkinan besar `Abd al-Samad al-Falimbani pengarang Sair Al-Salikin) menulis surat kepada Sultan Hamengkubuwono I dan kepada Susuhunan Prabu Jaka. Isinya, rekomendasi bagi dua orang haji yang baru pulang dan mencari kedudukan, tetapi dalam pendahuluan surat ada pujian terhadap raja-raja Mataram terdahulu yang telah ber-jihad melawan Kompeni. Surat-surat ini dapat dibaca sebagai anjuran untuk meneruskan jihad melawan penjajah.[11]

Perjalanan panjang dan berbahaya

Sebelum ada kapal api, perjalanan haji tentu saja harus dilakukan dengan perahu layar, yang sangat tergantung kepada musim. Dan biasanya para haji menumpang pada kapal dagang, berarti mereka terpaksa sering pindah kapal. Perjalanan membawa mereka melalui berbagai pelabuhan di Nusantara ke Aceh, pelabuhan terakhir di Indonesia (oleh karena itu dijuluki 'serambi Makkah'), di mana mereka menunggu kapal ke India. Di India mereka kemudian mencari kapal yang bisa membawa mereka ke Hadramaut, Yaman atau langsung ke Jeddah. Perjalanan ini bisa makan waktu setengah tahun sekali jalan, bahkan lebih. (Perjalanan Sultan Haji dari Banten, yang sudah pulang satu setengah tahun setelah berangkat, terhitung cepat). Dan para haji berhadapan dengan bermacam-macam bahaya. Tidak jarang perahu yang mereka tumpangi karam dan penumpangnya tenggelam atau terdampar di pantai tak dikenal. Ada haji yang semua harta bendanya dirampok bajak laut atau, malah, awak perahu sendiri. Musafir yang sudah sampai ke tanah Arab pun belum aman juga, karena di sana suku-suku Badui sering merampok rombongan yang menuju Makkah. Tidak jarang juga wabah penyakit melanda jemaah haji, di perjalanan maupun di tanah Arab. Naik haji, pada zaman itu, memang bukan pekerjaan ringan. Tidak banyak orang Nusantara yang pernah menulis catatan perjalanannya, namun dalam ceritera legendaris mengenai ulama-ulama besar petualangan mereka dalam perjalanan ke Makkah sering diberikan tempat menonjol.[12]

Penuturan yang sangat jelas mengenai kesulitan dan bahaya perjalanan dengan kapal layar ke Makkah ditinggalkan oleh pelopor sastra Melayu modern, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Abdullah naik haji pada tahun 1854, tidak lama sebelum kapal layar digantikan oleh kapal api. Mendekati Tanjung Gamri di Seylon (Sri Lanka) kapalnya diserang angin kencang:

Allah, Allah, Allah! Tiadalah dapat hendak dikhabarkan bagaimana kesusahannya dan bagaimana besar gelombangnya, melainkan Allah yang amat mengetahuinya. Rasanya hendak masuk ke dalam perut ibu kembali; gelombang dari kiri lepas ke kanan dan yang dari kanan lepas ke kiri. Maka segala barang-barang dan peti-peti dan tikar bantal berpelantingan. Maka sampailah ke dalam kurung air bersemburan, habislah basah kuyup. Maka masing-masing dengan halnya, tiadalah lain lagi dalam fikiran melainkan mati. Maka hilang-hilanglah kapal sebesar itu dihempaskan gelombang. Maka rasanya gelombang itu terlebih tinggi daripada pucuk tiang kapal. Maka sembahyang sampai duduk berpegang. Maka jikalau dalam kurung itu tiadalah boleh dikhabarkan bunyi muntah dan kencing, melainkan segala kelasi selalu memegang bomba. Maka air pun selalu masuk juga ke dalam kapal. (...) Maka pada ketika itu hendak menangis pun tiadalah berair mata, melainkan masing-masing keringlah bibir. Maka berbagailah berteriak akan nama Allah dan rasul kerana Kep Gamri itu, kata mualimnya, sudah termasyhur ditakuti orang: 'Kamu sekalian pintalah doa kepada Allah, kerana tiap-tiap tahun di sinilah beberapa kapal yang hilang, tiadalah mendapat namanya lagi, tiada hidup bagi seorang, ah, ah, ah!'[13]

Pada masa itu, Belanda juga mencatat bahwa banyak orang yang telah berangkat ke Makkah tidak kembali lagi. Antara tahun 1853 dan 1858, jemaah haji yang pulang dari Makkah ke Hindia Belanda tidak sampai separuh dari jumlah orang yang telah berangkat naik haji.[14] Kesan sementara pejabat pemerintah, bahwa selisihnya meninggal di perjalanan atau dijual sebagai budak, sangat berlebihan, tapi perjalanan memang makan banyak korban. Abdullah sendiri meninggal dunia beberapa hari setelah mencapai Makkah, sehingga tak dapat menyelesaikan bukunya yang terakhir ini. Sekitar tahun 1930-an, ketika keadaan kesehatan sudah lebih baik daripada abad sebelumnya, setiap tahun sekitar 10% dari jemaah haji Indonesia meninggal dunia selama mereka di tanah suci.[15] Namun perbedaan antara jumlah orang yang berangkat dan yang pulang terutama disebabkan oleh banyaknya orang yang tinggal di tanah suci selama beberapa tahun. Jumlah orang Nusantara yang mukim (menetap) di Makkah terus meningkat sejak pertengahan abad ke-19. Snouck Hurgronje, yang banyak menulis mengenai 'Jawah mukim' itu, tidak memberi perkiraan tentang jumlah mereka, tetapi pada tahun 1931 van der Plas (yang pernah menjabat konsul Belanda di Jeddah) menulis bahwa mereka sekurang-kurangnya 10.000 jiwa (bandingkan dengan jumlah jemaah haji, yang waktu itu berkisar sekitar 30.000).[16]

Pada tahun 1869 terusan Suez dibuka dan jumlah kapal api yang berlayar dari Jawa atau Singapura lewat terusan ini, dengan mendarat di Jeddah, naik cepat. Dengan demikian, perjalanan dari Nusantara ke Makkah sangat dipermudah dan dipercepat. Tiga maskapai perkapalan Belanda (disebut 'kongsi tiga') bersaing dengan maskapai Inggeris (dan Arab Singapura) untuk mengangkut jumlah haji yang sebesar mungkin. Mereka membayar komisi kepada para syaikh haji di Arab dan kepada calo di Nusantara untuk setiap penumpang yang diantarkan. Pejabat Hindia Belanda yang ingin membatasi jemaah haji karena mereka takut pengaruh 'fanatisme' agama, mengalah terhadap kepentingan ekonomi maskapai perkapalan ini. Maskapai-maskapai itu, tentu saja, tidak mengutamakan kesejahteraan jemaah haji; kapal diisi terlalu penuh dan kondisi makanan dan kesehatan kadang-kadang payah sekali. Snouck Hurgronje berulang kali mengeluh kepada pemerintah mengenai situasi ini. Salah satu kasus yang disebutnya adalah kapal 'Gelderland', yang pada tahun 1890 (ketika wabah kolera melanda Makkah) membawa tidak kurang dari 700 orang dari Jeddah ke Batavia tanpa akomodasi memadai. Dari mereka, 32 orang meninggal dunia di perjalanan; jumlah mereka pasti akan lebih banyak kalau konsul Belanda di Jeddah tidak memaksa kapten kapal agar membawa seorang dokter.[17]

Kenaikan jumlah haji terlihat dalam tabel berikut. Dari catatan konsul asing di Jeddah kita juga tahu perkiraan jumlah haji yang datang lewat laut dari negara lain (India, Mesir, Turki, dsb.). Ternyata orang Indonesia merupakan persentase yang cukup tinggi.[18]
Tahun Jumlah haji
dari Indonesia Jumlah haji yang mendarat di Jeddah Persen
1853 1.100
1858 3.700
1873 3.900 30.000 13%
1878 4.600 30.000 15%
1882-3 5.300 27.000 19%
1887-8 4.300 50.000 9%
1892-3 8.100 90.000 9%
1897-8 7.900 38.000 20%
1902-3 5.700 34.000 17%
1907-8 9.300 91.000 10%
1911-2 18.400 83.000 22%
1916-7 70 8.600 1%
1920-1 28.800 61.000 47%
1925-6 3.500 58.000 6%
1930-1 17.000 40.000 42%
1935-6 4.000 34.000 12%

Naik haji pada masa kapal api

Setiap tahun, rombongan haji dari Nusantara sudah mulai datang ke Makkah beberapa waktu sebelum bulan Ramadhan, karena mereka ingin melakukan ibadah puasa di kota suci itu dan sembahyang taraweh di Masjidil Haram atau di zawiyah seorang syaikh tarekat yang termasyhur. Rata-rata mereka tinggal empat sampai lima bulan di Hijaz sebelum pulang. Hampir semuanya juga mengunjungi kota Madinah setelah melaksanakan ibadah haji; ziarah ke makam Nabi di sana sudah lazim bagi jemaah haji Nusantara. Selain itu, mereka mengikuti pengajian-pengajian yang diberikan di mana saja di kota Makkah dan Madinah. Di antara jemaah haji ini tidak banyak yang bisa berbahasa Arab, tetapi itu tak menjadi masalah. Di mana-mana ada ulama berasal dari Nusantara, yang memberi pengajian dalam bahasa Melayu. Para syaikh tarekat pun mempunyai wakil-wakil 'Jawah' khusus untuk melayani jemaah haji Nusantara yang ingin memperdalam penghayatan tarekat. Di Makkah, jauh sebelum Sumpah Pemuda, bahasa Melayu sudah berfungsi sebagai ikatan pemersatu orang Nusantara. Bayangkan, di Makkah orang dari Jawa, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi Selatan, Kalimantan, Semenanjung Malaya, Minangkabau dan Aceh selama lima bulan bebas bergaul, tukar pengalaman dan pikiran. Snouck Hurgronje mencatat bagaimana orang dari seluruh Nusantara ikut membicarakan perlawanan Aceh terhadap Belanda, dan bagaimana mata mereka dibuka mengenai penjajahan Belanda maupun Inggeris dan Perancis atas bangsa-bangsa Islam.[19] Para haji hidup beberapa bulan dalam suasana anti-kolonial, yang sangat berbekas. Pemberontakan petani Banten 1888 dan pemberontakan Sasak 1892 melawan Bali (yang menduduki Lombok pada zaman itu) jelas diilhami oleh pengalaman tokoh-tokohnya ketika mereka berada di Makkah.

Dengan demikian, perjalanan haji mulai berfungsi sebagai pemersatu Nusantara dan perangsang anti-kolonialisme. Dan masyarakat 'Jawah mukim' punya peranan penting sebagai perantara antara orang Nusantara dan gerakan agama maupun politik di bagian dunia Islam lainnya. Ulama seperti Nawawi Banten, Mahfudz Termas dan Ahmad Khatib Minangkabau, yang mengajar di Makkah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, mengilhami gerakan agama di Indonesia dan mendidik banyak ulama yang kemudian berperan penting di tanah air. Banyak 'Jawah mukim' yang juga pernah belajar di madrasah modern Shaulatiyah, yang didirikan di Makkah pada tahun 1874 oleh orang India[20]. Melalui madrasah ini, mereka juga tahu dari lebih dekat tentang perjuangan orang India melawan penjajahan Inggeris. Keilmuan agama dan kesadaran nasional berkembang dalam hubungan erat satu dengan yang lain. Pada tahun 1934, karena suatu konflik yang menyangkut kebanggaan nasional orang Indonesia, guru dan murid 'Jawah' telah keluar dari Shaulatiyah dan mendirikan madrasah Darul Ulum di Makkah. Selama dasawarsa terakhir masa kolonial, madrasah ini merupakan pusat intelektual bagi orang Indonesia dari kalangan pesantren di Makkah. Bagi kaum modernis, pada masa itu, Mesir telah menjadi pusat pergerakan; tetapi untuk ke Mesir pun, Makkah tetap menjadi batu loncat.

Naik haji pada masa komunikasi massa dan informasi

Dari hal-hal yang disebut di atas, barangkali sudah jelas bahwa haji, selain merupakan ibadah dalam arti sempit, telah mempunyai beberapa fungsi penting lainnya bagi umat Islam Indonesia. Hajilah yang mempersatukan umat Islam Indonesia dengan seluruh umat Islam, hajilah yang merupakan saluran komunikasi dan informasi yang terpenting. Makkah, selain kiblat, juga merupakan jendela untuk melihat dunia luar dan sumber pemurnian dan pembaharuan agama. Bagaimana situasi sekarang ini? Apakah haji masih mempunyai fungsi yang begitu esensial bagi umat Islam Indonesia? Yang jelas, dengan teknologi transportasi modern dan persediaan sarana perhotelan dan kesehatan yang ada, menunaikan rukun Islam kelima telah menjadi sangat mudah bagi setiap orang yang mampu membayar ONH. Pengalaman ruhani di `Arafah atau dalam thawaf di seputar Ka`bah tetap sesuatu yang penting dalam kehidupan pribadi seorang mu'min. Tetapi bagaimana dengan fungsi-fungsi haji lainnya, yang bersifat sosial dan politik? Apakah haji masih berfungsi sebagai penggerak pembaharuan atau pemurnian agama? Apakah haji masih merupakan saluran komunikasi dengan sesama Muslim dari India, Pakistan, Afghanistan, Iran, Turki, Uni Soviet, negara-negara Arab?

Kesan saya, justeru karena kecanggihan teknologi modern itu, dan karena pengelolaan sentral melalui pemerintah, haji telah kehilangan fungsi sosialnya. Jamaah haji Indonesia diangkut secara massal dengan pesawat udara, dan hanya berada beberapa minggu saja di tanah suci. Tempat tinggal untuk mereka - bersama dengan orang Indonesia lainnya - sudah disiapkan sebelumnya, sehingga kontak dan komunikasi mereka dengan umat Islam lainnya minim sekali. Dalam waktu singkat itu, kesempatan untuk belajar di Makkah juga hampir-hampir tidak ada lagi. Kalau orang Indonesia sekarang tahu tentang kejadian di Pakistan, Iran, Libya, Mesir atau Uni Soviet, itu bukan lagi karena mereka telah naik haji, tapi karena sekarang ada saluran informasi yang lebih efektif. Ambil saja sebagai contoh peristiwa berdarah di Makkah sendiri tahun 1988. Berapa orangkah jamaah haji Indonesia yang sempat memahami apa yang sebetulnya terjadi dan apa latar belakangnya? Memang, ada yang telah melihat huru-hara, walaupun hanya melalui jendela hotel, tetapi mereka relatif sedikit; kalau ada yang sempat berbicara dengan orang yang terlibat, mereka pasti sedikit sekali. Inilah suatu peristiwa yang terjadi di Makkah sendiri ketika jamaah Indonesia berada di sana. Dapat dibayangkan bagaimana kesempatan untuk memperoleh informasi mengenai perkembangan intelektual atau politik yang terjadi di dunia Islam lainnya.

Pemikiran Islam baru yang masuk Indonesia beberapa dasawarsa terakhir ini (katakanlah, pemikiran orang seperti Hasan al-Banna, Abul A'la Maududi, Ali Syari'ati, Murtadha Muthahhari, Yusuf Qardhawi, Seyyed Hossein Nasr, Fazlur Rahman) tidak masuk lagi melalui jalur Makkah. Perkembangan teknologi percetakan dan media komunikasi lainnya mengakibatkan terjadinya desentralisasi kehidupan intelektual. Bukan lagi Makkah yang merupakan pusat intelektual dunia Islam yang terpenting. Pemikiran Islam sekarang berkembang di banyak tempat (termasuk Amerika dan Eropa!), yang saling berhubungan melalui media komunikasi modern. Di Makkah, memang, masih ada madrasah Darul Ulum, dan masih terdapat guru yang sangat dihormati oleh kalangan pesantren, seperti Muhammad bin Alwi al-Maliki. Dan ada juga perguruan agama negeri yang menerima siswa dari Indonesia. Tetapi peranannya sangat minim dibandingkan dengan peranan ulama besar Makkah setengah abad yang lalu. Naik haji sekarang telah dipersempit menjadi ibadah belaka - dan, tentu saja, simbol status sosial. Artinya bagi setiap pribadi tetap penting, tetapi tidak lagi sebagai motor penggerak proses islamisasi Indonesia.




Catatan:
[1].Lihat statistik dalam artikel Jacob Vredenbregt, "The haddj: Some of its features and functions in Indonesia", Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 118, 1962, hal. 148-9. Pada masa itu jumlah haji dari Indonesia memang sangat besar karena beberapa tahun sebelumnya orang Indonesia tidak bisa naik haji sama sekali. Setelah Sultan Turki memproklamasikan jihad pada tahun 1915, pemerintah Hindia Belanda melarang orang naik haji sampai perang berakhir (1918). Oleh karena itu banyak orang yang terpaksa menunda beberapa tahun perjalanan haji mereka secara massal berangkat ketika haji diizinkan lagi.
[2].Gambaran yang paling lengkap mengenai 'Jawah mukim' dan jemaah haji 'Jawah' ini, dan mengenai kehidupan di Makkah pada akhir abad ke-19 pada umumnya terdapat dalam jilid II buku Snouck Hurgronje mengenai Makkah. Seperti diketahui, Snouck Hurgronje pernah tinggal sekitar lima bulan di Makkah pada tahun 1885, setelah ia secara formal masuk Islam. Uraian kritis mengenai Snouck Hurgronje dan 'masuk Islam'nya terdapat dalam: Ph.S. van Koningsveld, Snouck Hurgronje dan Islam, Jakarta: Girimukti Pasaka, 1989.
[3].Hoesein Djajadiningrat, Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten. Haarlem, 1913, hal. 49-52, 174-8. Raja Banten mendapatkan gelar Sultan Abu'l-Mafakhir Mahmud Abdul Qadir dan Susuhunan Mataram Sultan Abdul Muhammad Maulana Matarani. Menurut sumber yang sama, raja Makassar juga meminta gelar Sultan di Makkah.
[4].Djajadiningrat, op.cit., hal. 32.
[5].J. Edel (ed), Hikajat Hasanoeddin. Leiden, disertasi, 1938, hal. 36 (ejaan disesuaikan).
[6].Legenda Tengger diceritakan kembali dalam: J.E. Jasper, Tengger en de Tenggereezen. Weltevreden: G. Kolff & Zn, 1927, hal. 41-43. Naskah Kediri disebut dalam C. Poensen, "Bijdragen tot de kennis van den godsdienstigen en zedelijken toestand der Javanen", Medeelingen van wege het Nederlandsche Zendeling Genootschap 13, 1869, hal. 191.
[7].G.W.J. Drewes & L.F. Brakel, The poems of Hamzah Fansuri. Dordrecht: Foris, 1986, hal. 8-9, 104-109.
[8].Yusuf dua kali menyalin karya ini, serta berbagai syarahnya, dengan tangan sendiri. Naskah ini sekarang berada di sebuah perpustakaan di Amerika Serikat, lihat: Nicholas Heer, The Precious Pearl. Al-Jami's Al-Durrah Al-Fakhirah Together with his Glosses and the Commentary of `Abd al-Ghafur al-Lari. Albany, NY: State University of New York Press, 1979, hal. 13-15.
[9].Tentang pengaruh Ibrahim terhadap gerakan reformis itu, lihat John Voll, "Muhammad Hayya al-Sindi and Muhammad ibn al-Wahhab: An Analysis of an Intellectual Group in Eighteenth-Century Madinah". Bulletin of the School of Oriental and African Studies 38, 1975, 32-39.
[10].Kitab Al-Tuhfah Al-Mursalah Ila Ruh Al-Nabi dikarang (dalam bahasa Arab) oleh Muhammad bin Fadhl Allah al-Burhanpuri (dari Burhanpur, Gujarat, India; wafat 1620). Kitab yang menguraikan metafisika martabat tujuh ini sudah dikutip oleh Syamsuddin Sumaterani (wafat 1630). Adaptasi Tuhfah Al-Mursalah dalam bahasa Jawa kemudian menjadi sangat populer di Jawa. Lihat A.H. Johns, The Gift Addressed to the Spirit of the Prophet. Canberra: Australian National University, 1965. Komentar Ibrahim al-Kurani berjudul Ithaf Al-Zaki dikarang sebelum tahun 1661.
[11].M.C. Ricklefs, Jogjakarta under Sultan Mangkubumi, 1749-1792. London: Oxford University Press, 1974, hal. 134; M. Chatib Quzwain, Mengenal Allah. Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syeikh 'Abdus-Samad al-Palimbani. Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hal. 16-17.
[12].Lihat misalnya cerita rakyat Sulawesi Selatan mengenai perjalanan naik haji Syaikh Yusuf dalam: Djirong Basang, Riwayat Syekh Yusuf dan Kisah I Makkutaknang dengan Mannuntungi. Jakarta: Dep. P dan K, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1981, hal. 120-151.
[13].Kisah Pelayaran Abdullah. Ke Kelantan dan ke Judah. Disusun oleh Kassim Ahmad. Kuala Lumpur: Fajar Bakti, 1981, hal. 94.
[14].Statistik pemerintah menunjukkan angka-angka berikut:
Angka-angka ini diambil dari: F.G.P. Jaquet, "Mutiny en Hadji-Ordonnantie: Ervaringen met 19e Eeuwse Bronnen", Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 136, 1980, 283-312 (lihat tabel pada hal. 310-2).
[15].Ch.O. van der Plas, "Les relations entre les Pays-Bas et le Hidjaz" ("Hubungan Belanda dengan Hijaz"), Grotius, Annuaire pour l'Année 1931. La Haye, 1931, hal. 124.
[16].Van der Plas, op.cit., hal. 128-9.
[17].C. Snouck Hurgronje, Ambtelijke Adviezen (Nasehat-nasehat dinas), jilid II. 's Gravenhage: Nijhoff, 1959, hal. 1335. Dalam kumpulan surat-surat resmi Snouck Hurgronje kepada pemerintah terdapat banyak sekali informasi menarik yang menyangkut haji (hal. 1307-1465).
[18].Tabel ini berdasarkan tabel-tabel dalam: Vredenbregt, op.cit., hal. 91-15, dengan beberapa data dari Jaquet, op.cit., hal. 310-312 dan William Ochsenwald, Religion, Society and the State in Arabia. The Hijaz under Ottoman Control, 1840-1908. Columbus: Ohio State University Press, 1984, hal. 61. Perlu dicatat bahwa selalu terdapat perbedaan yang cukup berarti dalam angka untuk tahun yang sama menurut sumber yang berbeda.
[19].Lihat C. Snouck Hurgronje, Mekka, jilid II, terutama hal. 331-5.
[20].Pendiri Shaulatiyah, Rahmatullah bin Khalil Kairanawi, sangat aktif dalam polemik dengan misionaris Kristen di India dan kemudian ikut serta dalam pemberontakan anti-Inggeris tahun 1857 (yang dikenal sebagai 'the Mutiny'). Lihat: A.A. Powell, "Maulana Rahmat Allah Kairanawi and Muslim-Christian Controversy in India in the Mid-19th Century", Journal of the Royal Asiatic Society 1976, 42-63. Mengenai Shaulatiyah, lihat Ochsenwald, op.cit., hal. 75, dan A.A. Dohaish & M.J. Young, "An unpublished educational document from the Hijaz (A.H. 1299)", Annali dell' Istituto Orientali di Napoli 35, 1975, 133-137.

P-SOLAM Designed by Templateism | Blogger Templates Copyright © 2014

Theme images by richcano. Powered by Blogger.